Mengapa Jurnal Ilmiah Berbayar? Catatan dari Dapur Publikasi Akademik
Saya paham betul mengapa banyak orang curiga pada jurnal ilmiah berbayar.
Saya mendengar langsung keluhan itu—di ruang diskusi, forum akademik, bahkan di pesan pribadi. “Kenapa harus bayar?” “Bukankah ini cuma bisnis?” “Kenapa tidak gratis saja demi ilmu pengetahuan?”
Pertanyaan-pertanyaan itu wajar. Saya pun dulu menanyakannya.
Tetapi sudut pandang saya berubah total ketika saya tidak lagi berdiri sebagai penulis atau pembaca, melainkan masuk ke dapur pengelolaan jurnal ilmiah.
Saat ini, saya mengelola penerbitan jurnal sebagai CEO Diklinko Journals Publisher, termasuk Jurnal TARBIYAH, yang banyak menghabiskan waktu untuk tampil di halaman pertama dalam kata kunci pencarian "Jurnal Tarbiyah". Saya juga dipercaya sebagai Ketua Wilayah Sumatera Utara Asosiasi Pengelola Jurnal Indonesia (APJI).
Dari posisi inilah saya ingin bercerita. Bukan sebagai teori. Bukan sebagai pembela penerbit. Tetapi sebagai orang yang hidup di dalam sistem ini setiap hari.
Ketika Idealism Bertemu Realitas
Hampir semua pengelola jurnal memulai dari idealisme.
Kami ingin ilmu tersebar. Kami ingin peneliti muda punya ruang. Kami ingin karya akademik tidak hanya berhenti di rak perpustakaan.
Masalahnya, idealisme tidak otomatis membayar server, tidak menyelesaikan masalah teknis OJS, dan tidak menggantikan waktu editor yang bekerja hingga larut malam.
Di sinilah banyak orang keliru.
Mereka melihat jurnal sebagai “produk akhir”. Padahal jurnal adalah proses berkelanjutan.
Publikasi Ilmiah: Sistem, Bukan Sekadar Artikel
Dari luar, jurnal terlihat seperti kumpulan PDF.
Dari dalam, jurnal adalah sistem yang harus berjalan tanpa henti.
#1. Teknologi yang Harus Selalu Siap
Setiap jurnal membutuhkan infrastruktur digital yang stabil. Hosting tidak boleh mati. Data harus aman. Arsip harus tersedia bertahun-tahun ke depan.
Ketika satu server bermasalah, bukan hanya satu artikel yang terdampak—reputasi jurnal ikut dipertaruhkan. Bila ingin tahu lebih dalam, baca tulisan berdasarkan pengalaman yang memilukan itu, ketika Jurnal dalam Kepungan Hacker, semua artikel tidak bisa diakses.
Ini bukan biaya sekali bayar. Ini biaya berulang.
#2. Manusia di Balik Layar
Reviewer sering bekerja sukarela. Tapi editor tidak bisa hanya mengandalkan niat baik.
Mengelola naskah masuk, memilih reviewer yang tepat, mengejar tenggat waktu, menilai revisi, memastikan etika publikasi—semua ini memerlukan tenaga profesional.
Dalam praktiknya, satu artikel bisa bolak-balik revisi beberapa kali. Setiap putaran berarti waktu, energi, dan koordinasi.
Singkatnya: Editor itu bukan sukarelawan, tetapi tenaga ahli.
Pengalaman Mengelola Jurnal: Kenyataan yang Jarang Dibicarakan
Saat mengelola Jurnal TARBIYAH, saya menyaksikan langsung satu hal penting:
Biaya terbesar jurnal bukan uang, tapi konsistensi.
Menjaga jadwal terbit. Menjaga kualitas artikel. Menjaga kepercayaan penulis dan pembaca.
Sering kali, pengelola jurnal bekerja dengan sumber daya terbatas, sambil tetap dituntut memenuhi standar nasional dan internasional.
Ketika jurnal mulai berkembang—dituntut indeksasi, DOI, metadata rapi, visibilitas global—biaya yang tadinya kecil berubah menjadi kebutuhan struktural.
Di titik inilah model pembiayaan tidak bisa lagi dihindari.
Open Access dan Kesalahpahaman Terbesarnya
Banyak orang mengira biaya publikasi di jurnal open access adalah “tiket masuk”.
Ini keliru.
Biaya tersebut bukan untuk membeli kelulusan. Ia dibayarkan setelah artikel melewati proses akademik.
Tujuannya sederhana: agar hasil penelitian bisa dibaca siapa saja.
Mahasiswa di daerah. Peneliti tanpa afiliasi besar. Guru, praktisi, dan masyarakat umum.
Tanpa biaya di sisi penulis, biaya itu akan kembali muncul di sisi pembaca—dalam bentuk paywall, langganan mahal, dan akses terbatas.
Paradoks Jurnal “Gratis” bagi Penulis
Saya sering bertanya balik kepada para pengkritik:
Atau hanya memindahkan beban ke perpustakaan, institusi, dan akhirnya ke negara?
Dalam banyak kasus, jurnal closed access justru menciptakan ketimpangan akses. Penelitian dari negara berkembang sulit dibaca. Kolaborasi terhambat. Dampak ilmiah mengecil.
Biaya tetap ada. Hanya tidak terlihat.
Mengapa Transparansi Lebih Penting daripada Murah
Dari pengalaman saya di APJI, satu masalah utama bukanlah mahal atau murahnya jurnal.
Masalahnya adalah ketidakjelasan.
Jurnal yang sehat harus transparan: tentang proses, tentang biaya, dan tentang standar.
Biaya publikasi yang jelas jauh lebih adil daripada jurnal yang “gratis” tapi tidak konsisten, tidak terbit tepat waktu, atau tidak terindeks dengan baik.
Penutup: Dari Kecurigaan ke Pemahaman
Jika Anda masih merasa jurnal berbayar itu bermasalah, saya mengerti.
Tetapi setelah berada di balik layar, satu hal menjadi jelas bagi saya:
Ilmu pengetahuan tidak pernah gratis. Yang bisa kita pilih hanyalah siapa yang menanggung biayanya.
Model open access dengan biaya publikasi bukan solusi sempurna, tetapi ia adalah upaya paling jujur untuk membuka akses seluas mungkin.
Bagi saya, jurnal bukan sekadar wadah artikel.
Ia adalah komitmen jangka panjang untuk menjaga kualitas, keterbukaan, dan keberlanjutan ilmu pengetahuan.
Dan komitmen seperti itu—sayangnya—tidak bisa dibangun hanya dengan idealisme.